Kamis, 10 Januari 2019

PAHLAWAN BERDASTER


Disebuah rumah sakit bersalin, seorang ibu muda berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati yang telah dinantikan sekian lama. Setiap tarikan nafas yang dia gunakan untuk membantu mendorong sang buah hati agar dapat lahir seakan membuatnya meregang nyawa dan memutuskan ribuan urat sarafnya. Namun hal itu seolah tidak dihiraukan. Yang terlintas dibenaknya hanyalah keinginan untuk dapat melewati proses persalinan itu dengan sesegera mungkin agar ia dapat melihat dan menggendong buah hatinya.


Sementara ditempat yang berbeda, seorang ibu yang terbilang sudah berumur namun baru akan dikaruniai anak, juga sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan buah hati yang menjadi dambaan jiwanya. Namun bedanya, ia menggunakan jasa dukun beranak untuk membantu persalinannya karena ia tidak memiliki cukup uang untuk membayar biaya klinik bersalin apalagi rumah sakit. Resiko kematian akibat melahirkan ditangan dukun beranak jauh lebih tinggi. Namun hal itu seolah tidak memberikan rasa takut. Malah sebaliknya, perasaannya justru dipenuhi oleh semangat seorang ibu yang akan memiliki seorang buah hati yang sudah lama di idam-idamkan apalagi proses melahirkan ditemani oleh suami tercinta yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya.


Dua kisah diatas meskipun terjadi ditempat yang berbeda namun tetap memiliki makna yang sama yaitu sebuah perjuangan dalam mewujudkan sebuah impian dan harapan yang dalam hal ini adalah perjuangan seorang ibu yang mengabaikan rasa takut dan melupakan rasa sakit demi melahirkan buah hati yang diharapkan dapat menjadi pelanjut cerita penerus sejarah dalam keluarga.

Ketika membaca tentang sejarah perjuangan, tentu yang terlintas dalam fikiran kita adalah sosok pahlawan yang gagah berani menyandang senjata dipundaknya. Sosok yang berdiri garang menghadang musuh di medan perang dengan bambu runcing ditangan atau bahkan sosok yang berteriak ‘Allahu Akbar’ atau ‘Merdeka atau Mati’. Pejuang yang berteriak dengan lantang untuk mengobarkan semangat pejuang lain dan berlari menyerbu benteng pertahanan musuh ditengah desingan peluru dari senjata laras panjang atau tank-tank musuh lalu gugur di medan juang.

Meskipun aku setuju dengan gambaran pahlawan yang diuraikan secara singkat sebelumnya, namun tetap saja masih menyisakan ganjalan dihatiku. Sebab memang betul mereka yang gugur di medan perang itu adalah putra-putra terbaik dari ibu pertiwi yang merelakan hidupnya jatuh tersungkur ke bumi demi menjaga agar ibu pertiwi tetap kokoh tegak berdiri dan bebas dari cengkraman penjajah. Namun pahlawan tidak selalu identik dengan orang yang gugur di medan perang.
Kita seolah lupa dan melupakan bahwa kita senantiasa berjalan berdampingan dengan sosok pahlawan yang keikhlasannya berjuang tak pernah ada duanya. Disaat keadaan sesulit apapun, ia tidak pernah mau disebut pahlawan. Bahkan ketika keberadaannya dianggap menjadi beban, ia tidak pernah mengeluh atau pun menyesal atas perjuangannya memberikan kehidupan. Itu lah ibu yang menurutku lebih pantas menyandang gelar pahlawan bahkan bisa lebih tinggi daripada itu.

Demikian halnya dengan ibuku. Ketika pertama kali ia melahirkan anak pertamanya yakni kakak sulungku, ia harus rela melahirkan ditengah-tengah pelariannya menyelamatkan diri dari invasi tentara Nippon pada masa itu. Ia rela menahan lapar dan haus asal anaknya tercukupi kebutuhannya meskipun pada masa itu untuk makan saja sangat sulit. Bahkan tak jarang ibuku harus makan nasi aking agar tetap bisa bertahan. Beras yang berkutu pun menjadi rebutan yang penting bisa makan. Sungguh perjuangan yang sangat luar biasa karena ibuku pun harus selalu berpindah-pindah dari tempat yang satu ketempat yang lain sekedar untuk bersembunyi dari kejaran tentara Nippon. Dapat dibayangkan bagaimana perjuangan seorang ibu harus berlari kesana kemari mencari tempat persembunyian dengan bayi yang baru lahir digendongan. Sebuah kepedihan yang teramat pilu namun mampu dilalui dengan penuh ketegaran.

Ketika bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan keadaan dirasa mulai aman, ibuku kemudian kembali ke kampung halamannya di Lemoape sebuah desa di Kabupaten Bone setelah beberapa tahun dalam pelariannya.
Kehidupannya pun mulai kembali normal. Beberapa tahun kemudian lahirlah anaknya yang kedua, ketiga dan keempat. Namun kepedihan kembali menghantam ketegaran ibuku akibat ditinggalkan oleh sang suami tercinta yang selama ini dengan setia menemani. Suami ibuku harus menyerah dan pasrah pada kehendak Sang Pencipta akibat sakit yang diderita. Ibuku ditinggal mati oleh sang suami tercinta dengan empat orang anak dalam keadaan yang sangat memprihatinkan dengan kondisi ekonomi yang serba sangat sulit pada masa itu.

Perjuangan ibuku dengan empat orang anak dirasa sangat berat. Ibuku harus menjadi tulang punggung keluarga demi menghidupi keempat anak-anaknya. Tak jarang ibuku harus bekerja ke sawah dan sepulang dari sawah ia pun berjualan jajanan olahan tangannya sendiri. Pekerjaan berat itu ia jalani selama hampir 20 tahun hingga akhirnya ia dipersunting oleh ayahku. Kehadiran ayahku dalam kehidupannya sedikit mengurangi beban hidupnya karena sudah ada ayahku yang bekerja untuk keluarganya meskipun kehidupannya pada masa itu masih terbilang jauh dari kata cukup tapi setidaknya ada teman berbagi beban.
Tiga tahun kemudian setelah pernikahan ibu dan ayahku, lahirlah aku. Anak pertama dari ayahku dan anak bungsu dari ibuku. Tiga bulan setelah kelahiranku, ayahku dipaksa oleh keadaan untuk merantau mengadu nasib dengan membawa istri dan anak-anaknya.

Namun, kehidupan ibuku diperantauan juga masih terasa sulit. Ibuku pun harus bekerja membantu ayahku di sawah. Bahkan dua hari dalam satu minggu ibuku harus berjualan sayur dan jajanan olahannya sendiri dipasar sekedar mencari tambahan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Terkadang untuk mandi atau berganti baju pun seolah tidak ada waktu lagi bagi ibuku atau mungkin memang tidak mau perduli lagi dengan keadaanya. Baju daster yang biasa dikenakannya pun bisa berhari-hari tidak diganti.
Profesi sebagai penjual sayur dan jajanan olahan sendiri dilakoni ibuku hingga aku lulus kuliah dan memiliki pekerjaan sendiri. Walaupun aku sering membelikannya baju daster baru dari penghasilanku sendiri, tetap saja baju daster kesayangannya yang berhari-hari tidak dicuci itu selalu setia menemaninya dan mengabaikan baju dasternya yang baru. Tapi itulah ibuku, wanita perkasa yang mampu bertahan disituasi tersulit sekalipun demi memberikan kehidupan pada anak-anaknya. Ibuku adalah pahlawan berdaster yang selalu ada dalam hidupku.

Kini pahlawan berdaster itu telah memasuki usia senja. Tanda-tanda kepikunan juga mulai nampak. Ia pun sudah pensiun dari segala aktifitasnya. Namun, jejak-jejak perjuangannya dalam memberikan kehidupan bagi anak-anaknya masih terlihat jelas dari tonjolan-tonjolan urat di lengannya. Kerutan diwajahnya masih menyisakan bekas duka dan perjuangannya dimasa lampau.
Terima kasih ibu atas hidup yang telah engkau berikan kepada kami anak-anakmu. Sungguh kami tidak akan sanggup untuk membalas itu semua bahkan walau nyawa kami menjadi persembahan untukmu masih tak sebanding dengan apa yang telah engkau berikan.


Penulis: Rustam Efendi Albugisi
========================
Picture Credit by hipwee.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar