Kamis, 10 Januari 2019

BENARKAH ANGGOTA LEGISLATIF WAKIL RAKYAT?


Pesta demokrasi 5 tahunan masih beberapa bulan mendatang. Namun aroma politiknya sudah sangat tajam tercium bahkan sejak di beberapa bulan terakhir. Partai peserta pemilu semakin gencar memasarkan program-program partai yang tertuang dalam visi misinya. Disamping para kandidat calon wakil rakyat yang juga sibuk melakukan sosialisasi dan deklarasi.

Tak bisa dipungkiri bahwa, diperhelatan pemilu serentak ini, rata-rata para kandidat menawarkan janji yang entah bisa dipenuhi jika terpilih nantinya atau tidak, selama itu bisa meraup suara mayoritas, hal seperti itu tampaknya sudah menjadi kelaziman. Janji manis yang muncul setiap 5 tahun sekali masih terbilang ampuh untuk melumpuhkan logika para pemilih terutama yang berusia 50 tahunan ke atas yang tak mau banyak tau urusan politik.


Strategi pemasaran partai dan kandidat yang diusungnya pun layaknya promo sebuah produk yang dimuat baik dalam bentuk pamflet, baliho, media cetak, media sosial maupun media elektronik. Bahkan banyak sosok yang selama ini tidak pernah tampil ditengah masyarakat tiba-tiba muncul dalam baliho besar sebagai kandidat dari sebuah partai. Yang menggelitik jika disamping namanya ditulis pula motto yang merujuk pada calon tersebut.

"JUJUR, MERAKYAT DAN AMANAH" merupakan satu dari sekian banyak kata-kata pemanis bibir yang sifatnya untuk memberikan pemahaman kepada pemilih bahwa jika memilih kandidat tersebut merupakan pilihan yang tepat. Benarkah? Apakah kata jujur, merakyat dan amanah itu sudah teruji melalui berbagai macam kiprah ditengah masyarakat?

Belum lagi yang menawarkan janji "GAJI AKAN DIBERIKAN KEPADA ANAK YATIM DAN KAUM DHUAFA" jika terpilih. Kenapa harus menunggu jadi anggota dewan untuk memberikan gajinya kepada anak yatim dan kaum dhuafa. Ah, janji memang manis jika diucapkan oleh bibir yang dipoles. Mengatasnamakan anak yatim dan kaum dhuafa demi kepentingan pribadi.

Jabatan sebagai anggota dewan memang masih termasuk jabatan bergengsi yang selalu dilirik oleh banyak kalangan sebab disamping statusnya sebagai wakil rakyat, jabatan tersebut termasuk salah satu jabatan dengan penghasilan tertinggi. Jadi sangat wajar jika banyak di minati oleh bukan hanya politikus senior akan tetapi yang baru terjun kekancah perpolitikan pun seolah berlomba untuk bisa duduk di kursi panas itu. Tak heran jika banyak cara yang dilakukan oleh para kandidat untuk memenangkan perhelatan tersebut walau dengan janji yang terbilang muluk.

Untuk memenangkan kursi panas tersebut, banyak yang rela menjual semua aset yang dimiliki untuk digunakan sebagai modal berkampanye. Mulai dari memasang baliho di setiap titik yang dianggap strategis dan mudah dibaca oleh banyak orang, sosialisasi door to door alias dari pintu ke pintu dengan mengajak masyarakat berdialog, memberi bantuan mulai dari alat-alat pertanian, nelayan, hingga alat rumah tangga. Dan yang paling sering menjadi sasaran adalah para ibu pengajian yang nota bene memiliki kelompok. Walau terkadang ada yang meminta kembali bantuannya jika tidak terpilih.

Bisa dibayangkan berapa banyak biaya yang akan dihabiskan oleh satu kandidat demi satu kursi panas itu. Oleh karenanya, mungkin tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa bukan hal yang absurd jika kandidat terpilih bukan bekerja untuk rakyat yang diwakili melainkan sibuk mengembalikan semua biaya yang terpakai selama masa kampanye sekaligus persiapan untuk masa kampanye 5 tahun yang akan datang.

Mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa tidak semua kandidat anggota dewan hanya menjual janji manis. Sebagian ada yang betul-betul dekat dengan masyarakat, mengabdi dan peduli serta memperjuangkan hak-hak konstituennya. Meskipun pendapat itu ada benarnya, namun belum dapat mewakili secara keseluruhan bagaimana perhelatan dan cara kerja wakil rakyat setelah terpilih. Terbukti dengan banyaknya palanggaran-pelanggaran yang justru datang dari mereka yang terpilih. Mulai dari bagi-bagi proyek, korupsi, skandal hingga intervensi penegakan hukum.

Terlepas dari itu semua, yang seringkali timbul sebagai pertanyaan adalah apakah benar para legislator itu adalah wakil rakyat? Jika benar mereka adalah wakil rakyat, lalu kemana mereka ketika rakyat mengalami perlakuan yang tidak adil? Kemana mereka ketika rakyat memerlukan perhatian dan uluran tangan?

Pertanyaan yang mungkin terdengar klasik. Namun esensinya merupakan persoalan mendasar yang lebih sering dinapikan. Sebab tak sedikit wakil rakyat yang keberadaannya adalah hasil dukungan dari rakyat namun bekerja untuk partai pengusungnya. Bahkan jika ada anggota legislatif yang berseberangan dengan kepentingan penguasa atau berseberangan dengan kepentingan pengurus partai, maka PAW (Pergantian Antar Waktu) atau sering juga disebut sebagai recall merupakan alat yang efektif untuk menyingkirkan anggota legislatif tersebut sehingga eksistensi mereka tergantung selera pengurus partai politiknya.

Hal itu telah menggeser orientasi pungsi mereka sebagai penyalur aspirasi kepentingan partai politik. Padahal keberadaan mereka yang dipilih dalam pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia adalah untuk mewakili kepentingan rakyat daerah pemilihannya.

Masa depan bangsa ini bukan ditangan kandidat wakil rakyat. Mereka hanya meminta peluang dari rakyat untuk menjadi wakil baik di parlemen maupun di pemerintahan. Oleh sebab itu, jadilah pemilih cerdas yang bukan hanya melihat kandidat sebagai sosok yang dikenal, bukan karena mendapatkan bantuan yang tak seberapa atau karena mendapatkan serangan fajar. Tapi lihatlah track record atau rekam jejak dari kandidat yang akan di pilih. Ingat, kesalahan memilih akan berdampak hingga 5 tahun kedepan dan kesalahan memilih akan turut dirasakan oleh bukan hanya kita sebagai pemilih akan tetapi semua masyarakat yang berada dalam suatu wilayah pemilihan.


Penulis: Rustam Efendi Albugisi
========================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar