Selasa, 01 Januari 2019

PAHLAWAN YANG TERLUPAKAN


 














***Oleh: Rustam Efendi Albugisi
 ------------------------------------------


Peringatan Hari Guru Nasional telah berlalu.
Masing-masing guru yang padanya tersematkan nama ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ telah kembali bertugas sebagaimana hari-hari sebelumnya. Rutinitas kembali di jalani dengan penuh pengabdian akan amanah yang diembannya.

Ada yang kembali selepas upacara peringatan dengan senyum bahagia tergambar di wajahnya karena memperoleh penghargaan sebagai guru teladan atau guru berprestasi. Adapula yang semakin semangat berkarya karena sebagian karyanya menjadi contoh karya inovasi dalam dunia pendidikan.


Ucapan selamat berdatangan dari seluruh pelosok negeri. Gawai pun seolah tak mampu menampung seluruh pesan masuk yang isinya ucapan selamat. Media sosial bahkan penuh dengan gambar dan kata-kata penggugah semangat atau puisi yang menggambarkan semangat perjuangan sang guru bagi kemajuan bangsa ini. Sungguh guru yang patut dibanggakan.
Namun peringatan Hari Guru telah berlalu.

Akan tetapi dibalik itu semua, pernahkah kita sedikitnya tersadar bahwa esensi dari peringatan Hari Guru Nasional bukan hanya sekedar acara seremonial dengan upacara dan pemberian penghargaan. Namun lebih daripada itu, ada tanggung jawab moral kepada seluruh pahlawan tanpa tanda jasa itu untuk memperhatikan kehidupan mereka, memperhatikan masa depan keluarga yang menjadi tanggungjawabnya. Ya, tanggungjawab itu adalah perbaikan kesejahteraan dan kepedulian akan perjuangan mereka.

Penulis yang juga berprofesi sebagai guru merasakan adanya sedikit persoalan yang sangat menggelitik terkait peringatan Hari Guru ini. Bukan berarti penulis tidak menghormati peringatan itu atau bahkan tidak setuju. Tidak. Sama sekali tidak demikian, sebaliknya penulis sangat bangga dengan peringatan Hari Guru tersebut karena itu berarti bahwa dengan menetapkan hari peringatan Hari Guru itu guru dapat di sejajarkan dengan pahlawan-pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, bahkan ingin rasanya penulis melakukan selebrasi ala bintang lapangan menyambut peringatan ini. Akan tetapi penulis ingin mengajak pembaca terutama yang berprofesi sebagai guru untuk bersama-sama melihat potret dan kondisi guru secara umum.

Setelah peringatan Hari Guru dengan menggelar upacara akbar dilapangan terbuka selesai, apa yang tertinggal? Apa yang dapat dirasakan? Kepuasan dan kebanggaan sebagai guru? Mungkin kepuasan dan kebanggan itu dapat kita rasakan, akan tetapi itu hanya bersifat individu dan tidak semua yang berprofesi guru dapat merasakan kepuasan dan kebanggaan itu. Mengapa demikian? Sebuah pertanyaan yang besar yang tidak seharusnya dijawab oleh guru. Namun untuk mengingatkan, maka guru menjawab pun sudah sepantasnya.

Guru sebagai penggiat dalam dunia pendidikan tentu perannya sangat urgen bahkan bisa dikatakan sebagai ujung tombak dunia pendidikan itu sendiri. Tanpanya mustahil pendidikan itu bisa bergerak. Bahkan pemerintah mulai dari tingkatan paling rendah hingga yang paling tinggi, mulai dari yang skala daerah hingga skala nasional mengakui itu. Namun guru tidak membutuhkan hanya pengakuan melainkan tindakan nyata hasil dari pengakuan itu. Guru butuh perbaikan kesejahteraan.

Ketika pemerintah berbicara soal kesejahteraan guru, para guru mulai bersorak menyambutnya. Dada dibusungkan, kepala ditegakkan, sorot mata penuh pengharapan, tugas pun dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Namun ketika pemerintah memberikan banyak persyaratan untuk memperoleh kesejahteraan itu, kelesuan mulai tampak pada tatapan mata para guru bahkan ada yang berputus asa.

Pemerintah memberikan tunjangan non sertifikasi bagi guru yang belum sertifikasi. Pemerintah juga memberikan tunjungan sertifikasi bagi guru yang memenuhi syarat. Namun perbandingan jumlah tunjangan itu ibarat langit dan bumi. Jika tunjungan untuk guru yang bersertifikasi menggunakan bilangan jutaan rupiah atau satu bulan gaji pokok, namun untuk yang non sertifikasi hanya bilangan ratusan ribu rupiah.
Mungkin ada yang mengatakan, karena guru yang bersertifikasi diwajibkan mengajar 24 jam perminggu. Apakah guru yang tidak bersertifikasi tidak bisa mengajar 24 jam perminggu? Tentu bisa jika diberikan tanggung jawab yang sama. Untuk urusan kesejahteraan, guru harus melalui banyak tes. Lalu bagaimana dengan pejabat negara yang lain? Apakah untuk urusan kesejahteraan mereka juga harus melalui banyak tes?

Jika pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan guru, tingkatkanlah secara menyeluruh tanpa ada persyaratan yang memberatkan.
Untuk lulus sertifikasi saja, guru diwajibkan mengikuti serangkaian tes. Mulai dari pendidikan yang harus minimal sarjana, lulus tes uji kompetensi guru, mengikuti pendidikan profesi guru, lulus ujian tulis negara, lalu diberikan beban mengajar 24 jam perminggu. Jika semua persyaratan itu sudah terpenuhi baru dianggap layak untuk mendapatkan tunjangan.

Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan nasib guru yang belum sarjana? Bagaimana yang sudah tinggal menghitung bulan untuk pensiun namun belum bersertifikasi? Persoalan ini baru menyangkut guru yang sudah menyandang status sebagai PNS. Lalu bagaimana pula dengan guru yang masih berstatus honorer? Persoalan yang dihadapi oleh guru honorer justru jauh lebih berat lagi bila dibandingkan dengan yang sudah PNS, mulai dari masalah kesejahteraan hingga perlakuan yang tidak adil dari atasan yang terkadang mencerminkan seseorang yang tidak sedang berada dilingkungan pendidikan.
Kenapa kita tidak merenungkan hal itu pada saat upacara Hari Guru?

Bahkan nasib guru honorer sudah seperti tontonan yang mengasyikan dan menghibur untuk disaksikan. Perjuangan mereka selain untuk mendidik dan mencerdaskan generasi penerus bangsa ini, mereka pun terkadang harus turun ke jalan menuntut pemerintah memberikan mereka status sebagai PNS. Apakah mereka salah jika melakukan aksi turun ke jalan? Apakah mereka salah jika terpaksa meninggalkan keluarga dan anak didik mereka dan bermalam di halaman depan istana negara? Tidak. Mereka tidak salah sebab mereka menuntut tindakan nyata atas nasib mereka dan bukan hanya pengakuan sebagai pahlawan. Mereka turun ke jalan untuk menagih janji. Ya, janji-janji manis politik menjelang pemilihan.

Guru memang selalu menjadi sasaran empuk untuk sekedar meraih suara mayoritas dalam perhelatan politik. Bahkan untuk sekedar menagih janji, nyawa mereka pun terkadang menjadi taruhan. Ada yang pergi meninggalkan keluarga dan anak didiknya dengan harapan nasibnya bisa berubah, namun justru keranda mayat yang mengantarnya pulang. Perjuangan dan pengorbanannya menjadi sia-sia bahkan nyawanya pun melayang sia-sia sebab tuntutannya tidak menghasilkan apa-apa.
Haruskah kita dengan bangga merayakan Hari Guru sementara masih banyak guru yang tengah berjuang untuk status dan nasib mereka? Apakah mereka yang berjuang untuk perbaikan nasib mereka adalah guru yang terlupakan?
Kemana makna sakralnya peringatan Hari Guru itu?

Pemerintah sudah selayaknya memikirkan perbaikan nasib guru bukan sekedar pengakuan sebagai pahlawan. Memberi tunjangan tanpa harus menuntut berbagai macam persyaratan yang memberatkan. Memberikan hak yang sama atas PNS dan honorer.
Peringatan Hari Guru harus dimaknai sebagai keberhasilan para guru sebagai ujung tombak pendidikan tanpa harus menciderai hak-hak mereka. Hidup GURU!!!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar