Jumat, 28 Desember 2018

MENGGUGAT ALLAH


 














***Rustam Efendi Albugisi
=========================


Namaku Suyatno namun teman sekantorku lebih sering memanggilku ‘Yat’ atau ‘Yatno’ saja. Ayahku seorang pengawas sekolah di Dinas Pendidikan di Kabupaten X sedang Ibuku mengelola toko sembako.


Sebagai anak seorang pengawas sekolah, tentu Ayahku sengat penduli tentang pendidikanku. Tak jarang Ayahku marah-marah jika Aku mendapatkan nilai jelek di sekolah. Pernah dulu ketika Aku masih kuliah dan terlalu sibuk berorganisasi sehingga sempat tidak fokus dengan jadwal kuliahku, nilai IPK ku sampai anjlok di bawah tiga koma nol karena beberapa kali Aku tidak mengikuti praktikum di kampus. Ayahku sangat marah dan menahan kunci motorku hampir satu bulan, sampai-sampai uang kuliahku pun sempat di stop.

Ayahku memang selalu mengajarkan pentingnya pendidikan, pentingnya sekolah dan segudang nasihat lainnya yang kadang membuatku jenuh dengan nasihat-nasihatnya yang menurutku itu-itu saja yang selalu diulang-ulang. Namun, meskipun demikian, Aku tidak pernah membantah perkataan Ayahku. Sejak kejadian motorku ditahan oleh Ayahku, Aku mulai rajin kuliah dan mengurangi kegiatan organisasiku. Aku yang memang termasuk mahasiswa yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata berhasil menyelesaikan kuliah kurang dari empat tahun.


Dua tahun kemudian, ada penerimaan CPNS. Formasi untuk jurusan pertanian juga dibuka dan dibutuhkan 5 tenaga teknis bidang pertanian. Aku memang kuliah mengambil jurusan pertanian atas saran dari Ayahku. Menurut Ayahku, potensi daerah kami memang lebih unggul dibidang pertanian terbukti dengan luasnya areal pertanian yang ada, mulai dari perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan puluhan hektar sawah. Aku pun ikut mendaftarkan diri dan mengikuti serangkaian tes yang diadakan oleh penyelenggara.
Ketika hasil seleksi CPNS itu diumumkan di koran lokal, kulihat namaku terpampang jelas pada urutan ke-2 dari seluruh pendaftar yang diterima. Bahagia? Tentu Aku bahagia karena menjadi pegawai negeri itu merupakan impianku sejak dulu namun hal itu tidak bisa Aku lukiskan dengan kata-kata.

Hari-hari berikutnya kujalani sebagai pegawai negeri yang bekerja dikantoran. Waktu terus berjalan hingga tak terasa sudah hampir lima belas tahun Aku menjadi pegawai negeri. Dengan masa kerja selama itu, seharusnya Aku sudah bisa memiliki jabatan minimal kepala seksi, namun aku tetap menjadi staf biasa. Sebaliknya, Pak Imran teman sekantorku, masa kerjanya masih kalah dengan masa kerjaku, pekerjaannya pun lebih banyak diselesaikan olehku karena dia sering meminta bantuanku kalau ada pekerjaan yang tidak bisa dia selesaikan. Namun, dia justru bisa memiliki jabatan. Karirnya lebih cepat menanjak. Berbagai macam pikiran kotor mulai menari-nari diatas kepalaku. Pandangan negatif tentangnya pun mulai bergelayut dipelupuk mata.
“Dasar penjilat” atau “Aku yang menyelesaikan banyak tugasnya, malah dia yang dapat enaknya.” Bisik hatiku yang selalu merasa tidak senang karena Pak Imran mendapatkan promosi jabatan sebagai Kepala Seksi dan Aku menjadi bawahannya.

Sudah menjadi sifat alamiah dasar manusia bahwa setiap kali pikiran kotor memenuhi otak kita ataupun pandangan negatif terhadap orang lain selalu menghiasi pandangan kita, maka perasaan iri, dengki, dan banyak penyakit hati lainnya akan membuat perasaan kita tersiksa dan hidup tidak bisa tenang. Keselahan sekecil apapun yang diperbuat seseorang akan menjadi besar dan kebaikan sebanyak apapun akan bias terlupakan.

Begitupun dengan Pak Imran teman sekantorku. Dia termasuk orang yang mudah bergaul dan senang bercanda. Dia juga tidak pernah memiliki musuh dikantor. Kepadaku juga dia selalu ramah. Namun, entah kenapa Aku tetap tidak menyukainya hanya karena Aku seniornya dikantor dan lebih banyak menyelesaikan pekerjaannya namun justru dia yang mendapatkan promosi jabatan.

Bertemu dengannya seolah menjadi sesuatu yang sangat tidak kuharapkan. Begitulah pikiran yang selalu mengganggu perasaanku. Bahkan terkadang Aku mengeluh dalam hati bahwa Allah itu tidak adil.  

Hingga suatu hari ketika selesai sholat Ashar di masjid, Aku duduk bersandar di salah satu tiang masjid sambil bermain HP. Tiba-tiba ustadz Bukotin mendekatiku seraya mengucapkan salam. Ustadz Bukotin adalah imam masjid yang biasa memimpin sholat di masjid itu dan Aku mengenalnya sudah cukup lama.
“Assalamualaykum”
“Kaifa haluk?”
“Waalaykumsalam Ustadz”
“Alhamdulillah Ana bikhair”
Ustadz Bukotin memang selalu menggunakan Bahasa Arab untuk menyapa jika bertemu denganku.
“Ente darimana? Koq jarang terlihat?” Tanya Ustadz Bukotin.
“Gak kemana-mana, Ustadz.” Jawabku singkat.
“Gimana keadaan keluarga semua, sehat?”
“Alhamdulillah sehat semua Ustadz.”
Tidak seperti biasanya Ustadz Bukotin mendatangiku dan mengajakku ngobrol. Biasanya, selesai sholat beliau langsung pulang setelah menyapa beberapa jamaah. Namun kali ini, beliau justru ikut duduk disampingku. Jangan-jangan ada yang mau disampaikan, pikirku.
“Gimana pekerjaan di kantor?” Tanya Ustadz Bukotin memulai obrolannya.
“Alhamdulillah baik semua Ustadz”. Jawabku sekedarnya.
 “Hidup mengejar karir dengan menggadaikan harga diri memang pada awalnya menyenangkan. Tapi itu hanya bersifat sementara.” Ustadz Bukotin melanjutkan obrolannya.
Aku tiba-tiba tersentak. Apa yang disampaikan Ustadz Bukotin barusan seolah-olah seperti yang ada dalam pikiran yang selama ini mengganggu perasaanku.
Apa Ustadz Bukotin mengetahui apa yang sebenarnya Aku pikirkan atau jangan-jangan Ustadz Bukotin bisa membaca pikiran orang, gumamku dalam hati.
“Berapapun banyaknya harta yang kamu peroleh atau tingginya pangkat yang kamu dapatkan, semua itu tidak akan membuatmu merasa tenang.” Ustadz Bukotin melanjutkan pembicaraanya.
“Kenapa bisa begitu, Ustadz?” Tanyaku.
“Karena semua diperoleh dengan cara yang tidak baik.” Jawab Ustadz Bukotin.
“Tapi Allah itu tidak adil Ustadz.” Kataku tiba-tiba mengeluarkan apa yang selama ini mengganjal pikiranku.
“Atas dasar apa Ente bilang Allah tidak adil?”
Sepertinya dialog ini akan menjadi diskusi kecil antara Aku dan Ustadz Bukotin. Ini kesempatanku untuk bertanya dan mengeluarkan semua beban pikiranku yang selama ini kusembunyikan.
“Ya…karena Aku sering melihat, orang yang diberi pangkat dan jabatan justru orang yang tidak bisa bekerja, sementara orang yang rajin malah jadi bawahan.” Jawabku berdiplomasi.

Ustadz Bukotin tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Kudengar ia menghela nafas dalam sebelum memberikan jawabannya.
“Ente tau gak ayat ini?”
“Inna ma’al usri yusro.”Tanyanya sambal membacakan ayat.
“Tau, Ustadz” jawabku “Bahkan sering Aku baca didalam sholat.”
“Tau artinya?”
“Tau, Ustadz. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
“Kalau Ente tau, kenapa masih mengatakan Allah itu tidak adil? Apa mau menggugat Allah karena merasa ada yang tidak adil dalam kehidupan Ente?”
“Terus kenapa kita sering melihat pemandangan yang demikian, Ustadz.”
“Orang yang hidupnya sekarang tampak indah, bisa jadi di masa lalunya adalah orang sangat kesulitan dalam hidup. Bisa jadi dia yang selalu berusaha tanpa mengenal putus asa. Apakah kita tau kesulitan apa yang sudah dilalui orang itu?”
Ustadz Bukotin sekilas memperhatikan wajahku yang tampak mencerna setiap kata-katanya. Setelah beberapa saat, Ustadz Bukotin kemudian melanjutkan kalimatnya.
“Memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak pemandangan yang terjadi disekitar kita seperti yang Ente sampaikan tadi. Tapi perlu Ente ketahui bahwa ada juga orang yang memang sengaja oleh Allah SWT diberikan kenikmatan dunia semata-mata untuk menjauhkan dia dari rahmat Allah. Itu yang disebut istidraj. Di dunia dia diberikan segala kenikmatannya akan tetapi di akhirat akan mendapatkan azab. Jadi jangan heran dan jangan iri hati dengan apa yang dicapai oleh orang lain. Yakinlah bahwa Allah selalu memberikan sesuatu kepada hamba-Nya sesuai dengan apa yang dibutuhkan bukan apa yang diinginkan selain istidraj tadi.”
“Makanya istilah orang meninggal itu ada 3 kalau menurut istilah orang jawa. Yang pertama ‘Mati’ artinya ‘nikmate wes ganti’. Di dunia, orang yang masuk kedalam golongan ini diberi kenikmatan tetapi dia tetap bersyukur dan bersabar jika diberi cobaan, maka setelah meninggal, nikmat dunia akan diganti dengan nikmat akhirat. Kedua ‘Mate’ artinya ‘nikmate wes ente (habis)’. Di dunia diberikan kenikmatan tapi dia lupa bersyukur lalu kufur nikmat, maka di akhirat dia mendapatkan ganjaran atas kekufurannya. Ketiga ‘Bongko’ artinya ‘arep diobong no neroko’. Inilah golongan yang paling celaka karena di dunia sudah tidak mendapatkan kenikmatan dunia dan di akhirat neraka lagi tempatnya. Naudzubillahi min dzalik.” Kata Ustadz Bukotin sambil menutup pembicaraannya.

Setelah menyelesaikan pembicaraanya, Ustadz Bukotin lalu pamit meninggalkanku dengan alasan bahwa dia ada janji sama orang lain.
Sepeninggal Ustadz Bukotin, Aku lama duduk terdiam meresapi kalimat demi kalimat yang disampaikannya.
“Astaghfirullah.” Ucapku.
Aku telah tersesat terlalu jauh selama ini dan telah diperbudak oleh perasaa iri dan dengki atas keberhasilan orang lain.
Aku kemudian perlahan-lahan bangkit berdiri lalu meninggalkan masjid sambil terus meresapi hasil diskusi singkatku dengan Ustadz Bukotin.



2 komentar: